Beranda/Blog/Interferensi Teknologi dan Perubahan Perilaku

Interferensi Teknologi dan Perubahan Perilaku

Pasti Angkut / 21 November 2022
Interferensi Teknologi dan Perubahan Perilaku | Pasti Angkut

Oleh: Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Panggungharjo

Interferensi Pemerintah Panggungharjo untuk memaksa masyarakat berubah dalam mengelola sampah melalui pendekatan teknologi digital, sedikit banyak telah dirasakan dampaknya.

Penetapan tarif proporsional dengan membebaskan biaya retribusi atas sampah organik serta membebankan retribusi tinggi atas sampah tercampur dan/atau residu, mendorong masyarakat untuk memilah sampah sejak dari rumah.

Perubahan perilaku telah terjadi. Yang dibutuhkan saat ini hanya tinggal pembiasaan agar menjadi budaya baru dalam mengelola sampah rumah tangga.

Lebih dari 9.600 keluarga, 28.600 jiwa tinggal di Desa Panggungharjo. Jumlah ini belum termasuk warga non-penduduk yang sedang menempuh pendidikan di beberapa perguruan tinggi maupun yang nyantri di pondok Krapyak.

Aktifitas dari puluhan ribu jiwa ini berpotensi menghasilkan sampah lebih dari 20 ton setiap harinya. Timbulan sampah ini terus bertambah secara eksponensial karena populasi yang terus bertambah, pola konsumsi yang berlebih, serta kesadaran yang rendah.

Faktor Pendorong Perubahan

Menjangkau ribuan keluarga untuk mendorong perubahan perilaku bukan perkara gampang. Dibutuhkan seperangkat infrastruktur baik politik, sosial, ekonomi, maupun infrastruktur teknologi.

Infrastruktur politik berupa regulasi menjadi pedoman pembagian peran dalam pengelolaan sampah mulai dari keluarga, lembaga pengelola sampah tingkat komunitas, dan lembaga pengelola sampah tingkat desa. Termasuk bagaimana harus disiapkan kebijakan fasilitasi dan pemberlakuan skema insentif/disinsentif yang harus secara paralel dilakukan.

Infrastruktur sosial berupa bank sampah merupakan sistem sosial untuk menopang perubahan perilaku pengelolaan sampah di tingkat keluarga, sehingga peta peran pengelolaan sampah menjadi lebih terang dan terstruktur.

Keputusan politik dengan menugaskan BUMDes sebagai lembaga pengelola sampah di tingkat desa adalah semacam upaya untuk mencukupkan infrastruktur ekonomi agar bangunan system pengelolaan sampah secara umum sustain secara ekonomi.

Dan mekanisasi pengelolaan sampah di sisi hilir agar mampu mengubah sampah menjadi intermediate product yang menopang industri lanjutan serta digitalisasi di sisi hulu untuk mendorong perubahan perilaku dan sekaligus sebagai upaya menjadikan data sebagai basis pengelolaan proyek perubahan secara keseluruhan.

Secara keseluruhan, proyek perubahan ini membutuhkan waktu hampir 9 tahun, terhitung sejak 25 Maret 2013. Wuiih. Tetapi di penghujung tahun 2022 ini, perubahan mulai tampak.

Saat ini kita dapat mengetahui berapa banyak keluarga yang berkenan menunaikan sebagian tanggung jawab atas sampahnya dengan melakukan pemilahan sejak dari rumah. Perubahan yang tidak hanya mampu menyederhanakan proses pengolahan sampah tetapi sekaligus berkesempatan menjadi jalan untuk mengurai benang kusut pengelolaan sampah dalam skala yang lebih luas.

Perubahan yang tidak hanya berpeluang melahirkan budaya pengelolaan sampah berkelanjutan tetapi juga berdampak belanja rumah tangga menjadi lebih efisien. Bagaimana tidak, pemberlakukan penetapan tarif retribusi yang proporsional, yang hanya membebankan tarif retribusi atas berat sampah non-terpilah dan/atau sampah residu dan membebaskan tarif retribusi atas berat sampah organik menjadikan belanja rumah tangga untuk iuran sampah berkurang lebih dari 90%. Dari Rp. 25.000,- setiap bulannya, sekarang diberlakukan skema tarif proporsional, banyak keluarga yang secara tertib memilah hanya membayar kurang dari dua ribu lima ratus rupiah, bahkan ada beberapa keluarga hanya membayar Rp 1.000,- setiap bulan.

Kolaborasi dan Sinergi di Semua Lini

Secara teknis, pemberlakuan penetapan skema tarif retribusi proporsional ini bukan sesuatu yang sederhana. Melibatkan aplikasi digital yang relatif rumit, puluhan SDM dilibatkan untuk diperankan di berbagai lini.

Mulai dari transporter yang harus mengambil dari ratusan titik lokasi penjemputan, tim operasional yang harus meng-generate data pelanggan untuk menentukan jadwal penjemputan berdasarkan kategori pelanggan, tim layanan costumer yang bertugas mengelola hubungan dengan pelanggan, tim akuisisi yang bertugas membangun kolaborasi dengan penarik sampah mandiri dan memperluas jangkauan layanan, tim IT yang harus memastikan sistem bekerja dengan performa yang baik, tim corsec dan keuangan yang bekerja untuk mengontrol biaya dan meningkatkan pendapatan.

Ini belum berbicara bagaimana tim produksi yang bertugas mengolah sampah menjadi komoditas dan memastikan setiap sampah yang diterimanya dikelola secara bertanggung jawab dan tidak berdampak baik secara sosial maupun lingkungan. Itulah kenapa entitas bisnis KUPAS kita perpanjang rantai nilainya, dan untuk setiap penambahan nilai kemudian dikelola oleh satu entitas baru.

Alhasil, hari ini ada entitas pastiangkut.id untuk mengelola sisi hulu dan tengah, yang berhubungan dengan pelanggan dan mengelola sistem penjemputan dan ada entitas kupas yang berperan mengelola disisi hilir untuk melakukan pemanfaatan sampah, dengan menjadikan sampah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan maupun dipertukarkan.

Semuanya masih jauh dari sempurna. Masih terdapat beberapa issue yang harus segera ditangani dan diselesaikan. Dan komitmen pemerintah desa untuk membangun ekosistem yang dibutuhkan untuk pengembangan KUPAS – pastiangkut.id akan terus diwujudkan.

Kita tidak hanya akan mengoptimalkan kewenangan, anggaran, maupun sumber daya yang tersedia, tetapi lebih daripada itu, kita akan mencoba menembus batas imajinasi, sampai kemudian impian untuk menjadikan desa sebagai ruang hidup yang layak, yang patut dan bermartabat bagi semua warga bangsa dapat diwujudkan.

Setidaknya kalo belum bisa terwujud saat ini, biarlah ini menjadi warisan bagi anak cucu kita kelak.

Salam Lestari

Bagikan

mail